Jumat, 19 Juni 2015

Curhatan anggota KaJe tentang Pementasan Emka

Siapa anak Undip yang tak kenal Brown Canyon? Brown Canyon merupakan tempat pengerukan tanah di kota Semarang, yang kemudian karena sering dikeruk, terbentuklah tebing yang unik. Sehingga menarik masyarakat untuk mengunjunginya, meski hanya untuk sekadar berfoto. Namun, yang unik tidak selalu bisa menarik. Ada satu hal yang mendongkrak potensi Brown Canyon, yaitu kisah hidup yang didramakan. Pada hari Minggu, 14 Juni 2015 lalu, kelompok seni teater Emka Fakultas Ilmu Budaya mementaskan drama yang mengangkat kisah hidup masyarakat Rowosari yang bersentuhan langsung dengan hiruk pikuk kehidupan di tempat “padasan” alias brown canyon. Seperti apa kisahnya? Singkat ceritanya begini: tokoh sentralnya adalah keluarga Khamid. Khamid adalah seorang yang beberapa bulan ini menjadi pengangguran karena dia tidak punya kesempatan kerja di padasan. Sementara itu, Suli, isterinya senanatiasa menuntut untuk hidup yang mewah dan bergengsi. Akibatnya untuk memenuhi gengsinya tersebut, Suli hutang kesana – kesini. Suatu hari Ningsih si rentenir menagih hutang Suli, saat itu Ningsig bertemu dengan Khamid. Lalu ketika sore hari Suli pulang ke rumah, terjadilah pertengkaran yang penyebabnya tak lain adalah karena masalah ekonomi. Perdebatan mereka berdua terdengar ke telinga tetangga. Akhirnya para tetangga sudah angkat tangan menasihati keluarga Khamid ini. Namun, keesokan harinya ada berita buruk, Khamid ditangkap petugas karena nekat kerja di padasan tanpa izin. Suli pun menyesali keadaan ini. Itu cerita versi saya sebagai penonton. Eits, cerita nggak monoton begini kok. Tentu saja ada tokoh – tokoh pendamping yang membawa cerita semakin hidup. Seperti Pardi si preman, Dul si orang gila, Ginah si penjual jajanan di padasan, Mbah sebagai sesepuh yang menasihati masyarakat setempat, dan Warso si tetangga Khamid yang hidupnya mapan. Semua diperankan dengan sangat menarik, senada dengan iringan musik gamelan yang diilustrasikan oleh UKM Kesenian Jawa. Cerita ini sangat sesuai dengan kondisi di Rowosari. Ada yang hidup tentram, ada yang menjadi preman, ada yang pengangguran, ada yang terlilit hutang. Karena kita tahu, takdir hidup setiap orang tidak sama. Sewaktu – waktu ada yang rodanya di atas, ada pula yang berada di titik terendah. Maka dari itu tidak heran jika judul pentasnya adalah “Wayahan” (re: sewaktu – waktu). Saya angkat jempol untuk pementasan ini. Kalo mau tahu, saat pementasan banyak sekali penontonnya. Kalau misalnya dihitung kira – kira 500 orang lebih, mulai dari balita hingga lansia semuanya antusias untuk menyaksikan pementasan ini. Semoga dalam pementasan ini tidak hanya hiburan saja, tetapi nilai sosial dan moral bisa dipetik masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar