“Pokoknya sekarang sampai lulus SMA aku nggak akan pernah pacaran!”
Itulah komitmenku yang sudah kuberitahukan kepada banyak orang temanku, termasuk kakakku. Ya, aku baru saja patah hati lagi. Seorang cowok yang kutaksir mempublikasikan status berpacarannya dengan orang lain yang jelas – jelas akan diketahui semua orang. Memang ini salahku, aku tak pernah bilang bahwa aku suka dengan dia. Tengsin bok! Oke, jaman sekarang cewek cowok sama, tapi betapapun aku punya harga diri. Nggak lucu dong kalau nembak cowok. Eh, walhasil si dia malah sudah didahului sama cewek lain. Nasib... nasib.
Kini aku hanya bisa menyesali perbuatanku, soalnya itu menghasilkan janji. Di kelas, aku hanya bisa sedih kalau melihat Hanief. Semula aku mencanangkan prinsip “semangat belajar karena sensor (Hanief)”. Tapi semenjak aku tahu, bahwa aku sudah tidak memiliki peluang untuk bersamanya, semangat belajarku menurun. Hampa sekali jika hidup hanya bersama cewek. Fiuh, aku mengusap keringat di dahiku.
Lamunanku dipecahkan oleh suara Bu Murni yang lembut.
“Milla,ini ada lomba siswa berprestasi, rencananya sekolah akan mengirimkan kamu sebagai perwakilan putrinya,” jelas beliau.
Oh my god, yang benar saja. Ternyata ada kebahagiaan di sela – sela kesedihan. Deal, aku menerima tawaran yang langka ini. Jadi, pastinya aku ada kegiatan untuk melupakan kesedihan ini. Pastinya aku akan mudah untuk menjaga janjiku “tidak akan pernah pacaran hingga lulus SMA”.
Oh iya, aku ini siswi kelas 2 SMA. Duduk di kelas XI IPA 7. Yang di kelas selalu diam, kecuali ngomong sama teman sebangku, atau kalau ada yang penting saja. Kata teman – temanku aku pintar. Tapi, kalau aku pintar, ngapain aku sekolah? Ya, mungkin maksudnya mudah menerima gitu deh. Semoga memang benar. Nha, itu sebabnya aku dipercaya ikut ajang bergengsi itu. Oke, akan aku laksanakan sebaik – baiknya bu.
Galau, bimbang. Ikut lomba tanpa penjelasan apa itu lombanya. Apa – apaan ini. Disuruh membuat makalah tentang pendidikan karakter. Temanya saja aku nggak tau. Huft, aku menghela nafas. Ampun deh, aku sungguh tidak mengerti tentang lomba ini. Secara, aku tidak tahu bagaimana perintahnya. Ya Allah, hamba butuh juklak.
“Juklaknya dibawa Firdhaus,” kata Bu Murni santai.
Siapa lagi itu Firdhaus. Aku belum pernah mengenal pasangan lombaku itu sebelumnya. Ya suatu saat pasti kenal. Mau gimana lagi, dia orang yang bakal sama – sama denganku untuk saat ini. Semoga orangnya menyenangkan lah. Jangan yang seperti Hanief.
***
Jam istirahat, aku dipanggil untuk ke ruang BK. Oh my god, kaget. Eh tapi ternyata ini menyangkut lomba ini. Akan kuhadiri secarik surat panggilan itu dengan senang hati.
Di ruang tunggu, tampak seorang cowok, di lengan kanannya tertempel bet kelas XI. Wah, ternyata dia temanku. Tapi selama ini aku nggak pernah kenal dengan dia. Hmm, nametextnya kulihat. Firdhaus A. Oh, jadi ini yang namanya Firdhaus.
“Oh, jadi kamu yang namanya Firdhaus,” kataku penasaran.
Dia yang duduk di sofa ruang tunggu hanya senyum dan menganggukkan kepala. Kubuka lagi memori yang berada di otakku. Sepertinya aku mengenal dia sebelumnya. Tapi, ingatan itu cukup sulit kutarik kembali. Oke, aku pasrah, biar waktu yang menjawab padaku siapakah dia sebenarnya.
***
Hari itupun tiba, disaat kami harus mendaftarkan diri sebagai peserta. Aku tidak pernah melakukan perkenalan kepada Firdhaus. Tapi tempat dan waktulah yang membuat aku dan dia menjadi kenal. Bahkan aku mendapat nomor ponselnya, dan itu semua karena forum bimbingan lomba.
Aku ingat, saat pertama kali aku membuka percakapan denganmu. Ternyata kamu sangat mengasyikkan. Hal itu membuatku kecanduan. Hingga akhirnya setiap hari aku dan kamu saling berkirim pesan singkat.
Oh, tak dinyana perkenalan kita berlanjut dengan bahagia. Sampai pada suatu ketika makalah yang kita buat harus segera dikumpulkan. Aku yang memiliki pengetahuan limit, tentu tak bisa berjuang tanpa bantuan dan semangat darimu. Kita saling membantu memberi dukungan. Saat itu juga tak disangka hati kita juga semakin dekat.
Senin, 5 September di ruang serbaguna, aku bertemu denganmu. Kita selesaikan tugas bersama. Pada akhirnya makalah itu selesai juga. Itu semua berkat semangat kita berdua. Sejak pertemuan itu, kita semakin menyatu. Entah mengapa aku merasakan suatu hal yang berbeda ketika aku sedang bersama denganmu, dan hal itu tidak pernah kurasakan jika sedang bersama orang lain. Mungkinkah aku suka denganmu?
Menang benar hanya waktu yang bisa menjawab. Tapi, untuk apa aku menunggu pernyataan yang sudah jelas memang ada. Apakah aku harus menunggu ungkapan itu datang dari mulutmu? Pastinya akan terlalu lama.
Tak dapat kutahan lagi. Karena reaksi kebersamaan itu mendesak hatiku untuk mengatakan hal itu padamu. Akhirnya malam itu kukatakan. Lambat laun aku suka dengan dirimu.
Penuh dengan bimbang. Sebelumnya tak pernah aku berani berkata hal senada kepada seorang teman laki – laki. Namun, untuk kali ini saja perasaanku mendesak untuk ungkapkannya. Ini juga diiringi oleh faktor ketakutan. Sesungguhnya aku takut kehilanganmu.
Sudah cukup jelas bagiku bahwa kamu akan menjawab dengan kalimat senada. Aku sudah tau bahwa kamu sebenarnya juga rasakan hal yang sama. Kamu juga suka denganku. Hatiku menjadi lebih plong setelah katakan itu. Eits, jangan negatif thinking dulu. Bilang suka bukan berarti jadian kan?
Aku suka kamu, kamu suka aku pula. Apalagi yang harus ditunggu? Seharusnya kita sudah menjadi sepasang kekasih.
Saat aku memikirkan pernyataan yang datangnya dari hatiku, saat itu juga aku berpikir begini. Sejak aku putus cinta, aku telah berjanji tidak akan pacaran hingga aku lulus SMA. Bukannya aku akan menjadi penghianat jika aku melanggar janji? Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
Sudah ku jelaskan pula kepadamu bahwa aku nggak mungkin mengingkari janjiku ini. Jadi, jika kamu memang suka denganku, kuncinya harus sabar. Ternyata di tahun 2011 masih ada cowok setia yang menurutku memang pantas untuk kusayangi. Dan tak kuduga teryata aku menemukan cinta dalam latihan lomba. Dan orang itu adalah Firdhaus.
Firdhaus adalah seorang siswa seperguruan dengan aku, pacarku (pasangan acara), yang duduk di bangku kelas xi ia 2 yang jauh dari kelasku. Menurutku dia cukup pendiam, tapi sangat pintar. Cepat mudeng, tidak seperti aku. Yang jelas di kelasku nggak ada yang menyamainya. Tapi ada satu hal yang kutakutkan jika aku suka dengannya. Ekskul. Ya, ekskul yang kita tekuni ternyata saling membenci.
Sempat aku bercerita kepada kakakku akan hal ini. Aku suka dengan seorang dimana dia bergabung dengan club yang teman – temanku tidak suka. Kakak justru mengatakan sesuatu yang membangun gairah rasaku, bukan yang menggoyahkan perasaanku. Itulah sebabnya aku sangat menyayangi kakaku. Orang yang tak pernah mematahkan semangatku.
Ya, baiklah Firdhaus, kini aku sudah terlanjur jatuh di hatimu. Entah kamu respect atau tidak, semoga itu menjadi yang terbaik.
Hari – hari kulewati bersamamu. Mulai dari hari kamis 8 September hingga hari ha tanggal 13 September. Kita selalu bersama membangun strategi khususnya untuk memenagkan perlombaan. Namun dalam sebuah pelatihan yang serba memusingkan itu, terdapat kisah asmara kecil – kecilan, yang pastinya terjadi antara aku dan dirimu.
Aku ingat, saat aku membawa castangle (kesukaanmu), pastinya kamu yang makan lebih banyak. Hahaha, lucu sekali. Dan masih banyak kisah lainnya yang tersisip dalam pelatihan lomba. Seandainya kamu tau, aku nggak ingin hari ha itu datang. Karena jika tiba waktunya, kita pasti akan berpisah. Kebersamaan itu mungkin akan menjadi kenangan semata yang tersimpan di hati masing-masing.
Di sisi lain aku sangat takut. Bukan takut menghadapi lomba, namun aku sangat takut jika harus berpisah denganmu. Anehnya kamu juga merasakan ketakutan yang sama seperti aku. Apakah mungkin kita memang mutlak sehati? Semoga.... kita sudah berusaha, kini Allah lah yang menentukan.
Hari yang sangat kutakutkan tiba. Selasa 13 September 2011. Puncak dari segala latihan untuk menuju ke babak yang kedua, yaitu akademik test. Kucoba tenang agar tidak terlalu tampak bahwa sebenarnya aku takut.
Seragkaian tes sudah kulaksanakan dengan maksimal sesuai dengan kemampuanku. Walhasil aku lolos. Namun, hal yang sangat menyedihkan saat itu adalah, Firdhaus tidak lolos. Bagaimana aku bisa tersenyum jika harus berpisah dengan pacarku (pasangan acara)?
Dukungan tetap ada, tapi tetap saja ragamu tak berada di sisiku. Pada akhirnya semua terjawab oleh waktu. Kita harus berpisah, padahal baru sebentar kita berjumpa. Sebegitu singkatnya perjumpaan kita. Inilah ketakutanku yang sebenarnya.
Dalam perjalanan pulang itu, aku menyapamu lewat tulisan. Kukatakan bahwa aku takut kehilanganmu sayang. Lagi – lagi senada, kamu juga rasakan hal yang sama. Namun, tak ada gunanya kita saling bersedih. Sifat bijaksanapun muncul. Kita yakin pasti bisa saling setia. Sehingga aku selalu ada di hatimu dan sebaliknya.
Kamu yang sedang menggenggam bukuku, menemukan sebuah kata mutiara yang sangat tepat untuk kondisi kita saat itu.
“You are always welcome in my heart, I wish with you forever”
Sejak saat itu, aku yakin cinta kita pasti tidak akan terpisahkan selama kita saling loyal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar